Da'wah La illaha ilallah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlumpah kepada hamba dan utusan-Nya, Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya.

Pemimpin yang adil merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah bagi umat manusia. Melalui dia, Allah melimpahkan kebaikan dan keberkahan sebagaimana yang terjadi pada zaman Khulafa’ Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhum.

Allah sangat memuliakan para pemimpin yang adil, sehingga menjanjikan untuk mereka naungan pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Yaitu hari di saat manusia dikumpulkan di padang mahsyar, matahari didekatkan dan manusia tenggelam oleh keringat mereka.

Disebutkan dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  

سَبْعَة يُظِلّهُمْ اللَّه فِي ظِلّه يَوْم لَا ظِلّ إِلَّا ظِلّه : إِمَام عَادِل

Ada tujuh golongan, Allah akan menaungi mereka di bawah naungan-Nya yang tiada naungan pada hari itu kecuali naungan-Nya: (Yang pertama) Imam yang adil . . . ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan menurut al-Qadhi ‘Iyadh,  disebutkannya imam yang adil pada urutan pertama karena banyaknya manfaat dan mashlahat yang dihasilkannya. (Lihat: Syarah Sunan al-Nasai: 7/102)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ . . .الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil, kelak di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza wa Jalla. . . . yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan apa saja yang mereka pimpin.

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya dan beliau menghasankannya, dari hadits Abi Sa’id al-Khudri secara marfu’, “Manusia paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat tempatnya dengan Allah adalah pemimpin yang adil.

Siapa Pemimpin yang Adil?

Ibnul Hajar rahimahullaah dalam Fathul Baari, ketika menjelaskan tentang hadits naungan Allah di atas mengatakan, “Dan penafsiran terbaik terhadap pemimpin yang adil adalah dia yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan/menempatkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan meremehkan. Dan disebutkannya pada urutan pertama karena banyaknya manfaat (yang diwujudkan) melaluinya.”

Pemimpin yang adil adalah mereka yang takut kepada Allah dan menerapkan syariat-Nya di muka bumi. Karenanya, dia selalu berusaha menjadikan rakyatnya mengikuti syariat Allah, menjaga agama mereka, dan menunaikan hak-hak rakyatnya dengan baik.

Sebaliknya pemimpin yang tidak adil adalah mereka yang tidak takut kepada Allah dan menelantarkan Syariat-Nya. Berbuat dalam kepemimpinannya yang mendatangkan murka Allah, melarang rakyatnya menerapkan syariat-Nya, dan bahkan berbuat sesuatu yang membahayakan agama mereka. Maka pemimpin seperti ini tidak akan pernah termasuk dalam tujuh golongan yang akan diberikan naungan oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dicintai dan dimuliakan oleh-Nya.

Karena tidak adanya rasa takut kepada Allah, maka dia tidak banyak pikir dalam menzalimi rakyatnya. Memeras melalui pajak atau menyedot sumber daya alam mereka untuk kepentingan perutnya sendiri tanpa memikirkan penderitaan rakyatnya. Hak-hak rakyat dia telantarkan dan tidak ditunaikan. Maka kita berlindung kepada Allah dari kejahatan pemimpin seperti ini. Kita memohon kepada-Nya agar tidak dipimpin oleh orang-orang semacam itu. Karena, kepemimpinan mereka akan membahayakan agama kita, kita dipaksa dengan kasar atau lembut untuk mengingkari ajaran Rabb semesta Alam. Kemaksiatan dia biarkan, sedangkan amar ma’ruf nahi munkar tidak ditunaikan. Bahkan, ketika sekelompok dari umat Islam yang bangkit untuk menerapkan ajaran Tuhannya dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, serta merta disudutkan dan diperangi. Wal ‘yadhu billah!

. . . penafsiran terbaik terhadap pemimpin yang adil adalah dia yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan/menempatkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan meremehkan.

(Ibnul Hajar)

Doa Apa yang Bisa Dipanjatkan?

Dalam tulisan terdahulu, Doa Agar Terhindar dari Musibah Agama disebutkan beberapa kandungan yang ada di dalamnya. Ringkasnya: supaya kita diberikan kebaikan dalam urusan dien sehingga menghantarkan kita kepada surga-Nya. Lalu kita berlindung kepada Allah dari musibah yang menimpa agama kita dan memohon jangan dijadikan dunia sebagai tujuan utama hidup kita. Dan dipenghujung doa disebutkan,

وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا

Dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami.

Yaitu memohon agar jangan dijadikan sebagai umat yang dikalahkan dan dikuasai orang-orang kafir dan orang-orang zalim. Dan memohon agar Allah tidak menjadikan orang-orang zalim sebagai penguasa atas kita, karena pemimpin yang zalim tidak akan mengasihi rakyatnya.

Bahaya Pemimpin Zalim

Pemimpin yang durhaka kepada Rabbnya dan bertindak zalim kepada rakyatnya menjadi sebab dihancurannya suatu negeri. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’: 16)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna ayat di atas, “Kami beri kuasa orang-orang buruknya, lalu mereka bertindak durhaka di dalamnya. Maka apabila mereka telah bertindak seperti itu, aku hancurkan mereka dengan adzab.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir terhadap ayat tersebut)

Dan itulah makna firman-Nya,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا

“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (QS. Al-An’am: 123)

Dan ketika jumlah para pemimpin dan penguasa negeri yang seperti itu bertambah banyak –dan di akhir zaman jumlah mereka semakin banyak, seperti yang sudah kami tulis dalam: Sinyalemen Nabi: Banyak Pemimpin Bejat dan Hina di Akhir Zaman– maka kehancuran negeri itu semakin dekat. Hal seperti yang dikatakan Imam Al-‘Ufi, dari Ibnu Abbas tentang makna QS. Al-Isra’: 16 di atas adalah: aktsarnaa ‘adadahum (Kami perbanyak jumlah mereka). Dan seperti itu pula yang dikatakan Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, al-Dhahak, Qatadah, al-Zuhri dan lainnya. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir dalam penafsiran ayat tersebut).

Karenanya kita berlindung kepada Allah dari memiliki pemimpin yang durhaka kepada Allah, menelantarkan syariat-Nya dan tidak mengasihi rakyatnya. Salah satunya dengan membaca doa yang sangat agung berikut ini:

“Ya Allah, karunikanlah untuk kami rasa takut kepadaMu yang dapat menghalangi kami dari bermaksiat kepada-Mu, dan (karuniakanlah untuk kami) ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu, serta (karuniakanlah untuk kami) keyakinan hati yang dapat meringankan kami dari berbagai cobaan dunia. Jadikankan kami bisa menikmati dan memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama kami hidup. Dan jadikan semua itu sebagai pewaris bagi kami (tetap ada pada kami sampai kematian). Jadikanlah kemarahan dan balas dendam kami hanya kepada orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang memusuhi kami. (Ya Allah) Janganlah Engkau jadikan musibah kami adalah yang terjadi pada dien kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami.” (HR. Al-Tirmidzi dalam Sunannya no. 3502, al-Nasai dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 402, Al-Hakim 1/528, Al-Baghawi no. 1374 dari hadits Ibnu Umar. Imam al-Tirmidzi mengatakan hasan Gharib. Syaikh Al-Albani menghassankan hadits ini dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir no. 1268) Wallahu Ta’ala a’lam…

Sumber :

Kejujuran

Jujur adalah sebuah ungkapan yang sering kita dengar dan menjadi pembicaraan di berbagai khutbah dan taushiyah. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut baru menyentuh sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya. Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah dan Rasul-Nya memuji orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda, عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا “Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR al-Bukhari dan Muslim, teks hadis mengikuti versi Muslim) Definisi Jujur Jujur artinya keselarasan antara yang terucap dengan kenyataannya. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS al-Maidah:119) “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. az-Zumar:33) Keutamaan Jujur Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan dasar akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.” Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama. Sifat jujur merupakan tanda sempurnanya keislaman, timbangan keimanan, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Karena itu, orang yang jujur akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan. Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda, “Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.” Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat. Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta. Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya –dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruh), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak. Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Q.S. at-Taubah:119) “Allah berfirman, ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.’” (Q.S. al-Maidah:119) “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (Q.S. al-Ahzab:23) “Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Q.S. Muhammad:21) Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.” Macam-Macam Kejujuran Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (Q.S. al-Ahzab:23) Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (Q.S. at-Taubah:75-76) Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur’”. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.S. al-Hujurat:15) Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.

 

Dikutip :http://arrahmah.com/read/2007/09/17/1003-jujur-membawa-selamat.html

( abah zachy site )

 

1. Dikisahkan bahwa Hisyâm bin ‘Abdul Malik datang ke Baitullah, Ka’bah untuk melakukan manasik haji. Ketika masuk ke Masjid al-Haram, dia berkata, “Tolong hadirkan ke hadapanku salah seorang dari kalangan para shahabat.!”

Lalu ada orang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, mereka semua sudah meninggal dunia.”

Lalu dia berkata lagi, “Kalau begitu, dari kalangan tabi’in saja.”

Maka dihadirkanlah Thâwûs al-Yamâny. Tatkala menemui sang Amir, dia mencopot kedua sandalnya di pinggir permadaninya dengan tidak memberi salam terlebih dahulu dan tidak pula memanggilnya dengan julukannya (kun-yah), lantas duduk di sampingnya tanpa idzin pula seraya berujar,
“Bagaimana kabarmu wahai Hisyâm.?”

Maka meledaklah kemarahan sang Amir sehingga ia hampir saja berkeinginan untuk membunuhnya, namun kemudian ada yang mencegahnya seraya berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, engkau saat ini berada di kawasan Haram Allah dan Rasul-Nya (Ka’bah) yang tidak boleh hal itu terjadi.”

Maka Hisyam berkata, “Wahai Thâwûs, apa yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu tadi.?”
“Apa gerangan yang telah aku perbuat,?” balas Thâwûs

“Engkau telah mencopot kedua sandalmu di pinggir permadaniku, tidak memberi salam dengan menyapa, ‘Wahai Amirul Mukminin,’ tidak memanggilku dengan julukanku lalu duduk di sampingku tanpa idzin,” kata Hisyâm

“Adapun kenapa aku mencopot kedua sandalku di pinggir permadanimu, karena aku sudah biasa mencopotnya kala berada di hadapan Allah Ta’ala setiap hari, sebanyak lima kali akan tetapi Dia tidak mencela ataupun marah kepadaku. Adapun ucapanmu ‘engkau tidak memberi salam kepadaku dengan menyapa, ‘wahai Amirul Mukminin’’ karena tidak setiap Muslim setuju atas naiknya engkau ke tampuk kekuasaan. Jadi, aku takut kalau menjadi seorang pendusta (dengan menyapamu sebagai Amir semua orang-orang beriman-red.,). Mengenai perkataanmu ‘engkau tidak memanggilku dengan julukanku’ karena Allah Ta’ala juga menamai para Nabi-Nya, lalu memanggi mereka; ‘wahai Daud’ ‘wahai Yahya’ ‘wahai ‘Isa’ bahkan Dia malah menyebut musuh-musuh-Nya dengan julukan dalam firman-Nya, ‘Celakalah tangan Abu Lahab.’ Sedangkan ucapanmu, ‘kamu duduk di sampingku (tanpa idzin), maka hal itu karena aku telah mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Bila kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seorang yang duduk sementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya,” jawab Thâwûs

Kemudian Hisyam berkata, “Kalau begitu, nasehatilah aku.”
Maka Thâwûs berkata, “Aku mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Sesungguhnya di neraka Jahannam terdapat ular-ular dan kalajengking seperti bagal (peranakan antara kuda dan keledai) yang mematuk setiap Amir (Penguasa) yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya.”

2. Diriwayatkan bahwa Abu Ghayyâts, seorang ahli zuhud selalu tinggal di sekitar pekuburan Bukhara, lalu suatu ketika datang ke kota untuk mengunjungi saudaranya. Kebetulan bersamaan dengan itu, putera-putera Amir Nashr bin Muhammad (penguasa setempat) barusan keluar dari kediamannya bersama para biduan dan alat-alat bermain mereka. Tatkala melihat mereka, sertamerta Abu Ghayyâts berkata,
“Wahai diriku, telah terjadi sesuatu yang bila engkau diam, berarti engkau ikut andil di dalamnya.”

Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit sembari memohon pertolongan Allah. Kemudian mengambil tongkat lalu menggebuki mereka secara serentak sehingga mereka pun lari kocar-kacir menuju kediaman sang penguasa (Amir). Setibanya di sana, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada sang penguasa.

Maka, sang penguasa pun memanggil Abu Ghayyâts seraya berkata,
“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang di penjara.?”

“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap ar-Rahmân (Allah), dia akan makan malam di dalam neraka,?” balas Abu Ghayyâts

“Kalau begitu, siapa yang memberimu wewenang melakukan Hisbah (Amr Ma’ruf Nahi Munkar) ini,?” tanya Amir
“Dia adalah Yang telah mengangkatmu ke tampuk kekuasaan ini,” jawab Abu Ghayyâts

“Yang mengangkatku adalah sang Khalifah,” kata Amir
“Kalau begitu, Yang mengangkatku melakukan Hisbah adalah Tuhannya sang khalifah,” jawab Abu Ghayyâts

“Aku hanya mengangkatmu melakukan Hisbah di daerah Samarkand saja,” kata Amir
“Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana,” jawab Abu Ghayyâts

“Aneh kamu ini, engkau melakukan Hisbah di tempat yang tidak diperintahkan kepadamu dan menolak melakukannya di tempat kamu diperintahkan,?” kata Amir lagi

“Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu ketika kamu akan mencopotku akan tetapi bila Yang mengangkatku adalah Rabbku, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku,” tegas Abu Ghayyâts pula

“Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu,!” tanya Amir akhirnya
“Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain,!” kata Amir
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agar tidak menyiksaku kelak,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku juga, mintalah yang lainnya,!” kata Amr
“Kalau begitu, tulislah kepada malaikat Ridlwân, penjaga surga, agar memasukkanku kelak ke dalam surga,!” jawab Abu Ghayyâts

“Wah, itu juga bukan wewenangku,” kata Amir lagi
“Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah Yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan, Yang tidaklah aku meminta kepada-Nya suatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya,”jawab Abu Ghayyâts

Atas jawaban tegas dan brilian itu, akhirnya Abu Ghayyâts dibebaskan oleh sang Amir bahkan dia malah salut dengan keimanan dan keberaniannya.

 

 

(SUMBER: Buku Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fî Anîs ash-Shâlihîn Wa Samîr al-Muttaqîn disusun oleh Muhammad Amîn al-Jundy, Juz II, h.29-33)

&

http://www.kisah.web.id/hikmah/contoh-keberanian-para-ulama-di-hadapan-penguasa.html

 

Suatu saat, adzan Maghrib tiba. Kami bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal dengan tempat mangkalnya aktivis Islam yang mempunyai kesungguhan dalam beribadah. Di sana tampak beberapa pemuda yang berpakaian “khas Islam” sedang menantikan waktu shalat. Kemudian, adzan berkumandang dan qamat pun segera diperdengarkan sesudah shalat sunat. Hal yang menarik adalah begitu sungguh-sungguhnya keinginan imam muda untuk merapikan shaf. Tanda hitam di dahinya, bekas tanda sujud, membuat kami segan. Namun, tatkala upaya merapikan shaf dikatakan dengan kata-kata yang agak ketus tanpa senyuman, “Shaf, shaf, rapikan shafnya!”, suasana shalat tiba-tiba menjadi tegang karena suara lantang dan keras itu. Karuan saja, pada waktu shalat menjadi sulit khusyu, betapa pun bacan sang imam begitu bagus karena terbayang teguran yang keras tadi.

Seusai shalat, beberapa jemaah shalat tadi tidak kuasa menahan lisan untuk saling bertukar ketegangan yang akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di tempat itu lagi. Pada saat yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth, sebuah negara bagian di Australia, tibalah kami di sebuah taman. Sungguh mengherankan, karena hampir setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka tersenyum dengan sangat ramah dan menyapa “Good Morning!” atau sapa dengan tradisinya. Yang semuanya itu dilakukan dengan wajah cerah dan kesopanan. Kami berupaya menjawab sebisanya untuk menutupi kekagetan dan kekaguman. Ini negara yang sering kita sebut negara kaum kafir.

Dua keadaan ini disampaikan tidak untuk meremehkan siapapun tetapi untuk mengevaluasi kita, ternyata luasnya ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan, tidak ada artinya jikalau kita kehilangan perilaku standar yang dicontohkan Rasulullah SAW, sehingga mudah sekali merontokan kewibawaan dakwah itu sendiri.

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dengan berinteraksi dengan sesama ini, bagaimana kalau kita menyebutnya dengan 5 (lima) S : Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.

Kita harus meneliti relung hati kita jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita rasanya ikut terimbas bahagia. Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang tulus, rasanya lebih enak didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus. Senyuman menambah manisnya wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua keriput. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita termasuk orang yang senang tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita berat untuk tersenyum, bahkan dengan orang yang terdekat sekalipun. Padahal Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa dengan orang lain kecuali dalam keadaan wajah yang jernih dan senyum yang tulus. Mengapa kita begitu enggan tersenyum? Kepada orang tua, guru, dan orang-orang yang berada di sekitar kita?

S yang kedua adalah salam. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan keikhlasan, rasanya suasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa bersaudara. Kita dengan terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa tersendiri. Pertanyaannya, mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan salam? Padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pergi ke pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam begitu enggan? Adakah yang salah dalam diri kita?

S ketiga adalah sapa. Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah oleh orang lain rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat di mesjid, meski duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu shaf, bahkan berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan keras? Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan sapaan kita?

S keempat, sopan. Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk, ketika lewat di depan orang tua. Kita pun menghormatinya. Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua? Sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita, bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan bersolonjor misalnya. Lalu, kita relakan orang yang di depan kita teremehkan. Patut kiranya kita bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang memiliki etika kesopanan atau tidak.

S kelima, santun. Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan kepentingan orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean, demi kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk kepentingan orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri. Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki? Sejauh mana hak kita telah dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut berbahagia? Sejauh mana kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun kesungguhan kita untuk membalas kebaikan orang yang kurang baik?

Saudara-saudaraku, Islam sudah banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan indah. Yang dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan agung itu? Yuk, kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau secara sederhana. Amboi, alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat salam hangat ditebar, saling mendo’akan, menyapa dengan ramah, lembut, dan penuh perhatian. Alangkah agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan siapapun dan dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya dipandang, jika pribadi kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan haknya, lapang dada,, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas keburukan dengan kebaikan serta kemuliaan.

Saudaraku, Insya Allah. Andai diri kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini, semoga kita termasuk dalam golongan mujahidin dan mujahidah yang akan mengobarkan kemuliaan Islam sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama buitsu liutammima makarimal akhlak, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.***K.H. Abdullah Gymnastiar

ISTIQOMAH

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh ..

عن أبي عمرو وقيل : أبي عمرة سفيان بن عبدالله الثقفي رضي الله عنه – قال : يا رسول الله , قل لي في الإسلام قولاً لا أسأل عنه أحداً غيرك, قال ” قل آمنت بالله

ثم استقم ” رواه مسلم

Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata : ” Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “.

[HR Muslim no. 38]

Kalimat “katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu”, maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku satu kalimat yang pendek, padat berisi tentang pengertian Islam yang mudah saya mengerti, sehingga saya tidak lagi perlu penjelasan orang lain untuk menjadi dasar saya beramal. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Katakanlah : ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. Ini adalah kalimat pendek, padat berisi yang Allah berikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau menyuruh orang tersebut untuk selalu memperbarui imannya dengan ucapan lisan dan mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar. Hal ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya mereka yang berkata : Allah adalah Tuhan kami kemudian mereka istiqamah……”.(QS. Fushshilat : 30)
yaitu iman kepada Allah semata-mata kemudian hatinya tetap teguh pada keyakinannya itu dan taat kepada Allah sampai mati.

‘Umar bin khaththab berkata : “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti berpalingnya musang”. Maksudnya, mereka lurus dan teguh dalam melaksanakan sebagian besar ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Demikianlah pendapat sebagian besar para musafir. Inilah makna hadits tersebut, Insya Allah.
Begitu pula firman Allah : “Maka hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu”.(QS. Hud : 112)

Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda :
“Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”.

Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”. Ia berkata pula : “Ada yang berpendapat bahwa istiqamah itu hanyalah bisa dijalankan oleh orang-orang besar, karena istiqamah adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di hadapan Allah dengan kesungguhan dan kejujuran. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Istiqamahlah kamu sekalian, maka kamu akan selalu diperhitungkan orang’.

Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”. Wallaahu a’lam.